JOKOWI: KONFIGURASI POLITIK YANG DEMOKRATIS

JOKOWI: KONFIGURASI POLITIK YANG DEMOKRATIS
Oleh ; Agung Ardaus (JAkFI Kota Palopo)

Bernegara adalah hasil konstruksi para pendahulu agar tercipta kesejahteraan masyarakat tentunya. Dalam suatu Negara, hukum sebagai alat untuk mensejahterahkan adalah keniscayaan sebagaimana manusia menciptakan aturan di manapun ia berada. Artinya, lahirnya hukum ialah suatu keinginan intuitif (fitrah) manusia yang dikenal dalam Epistemologi Islam sebagai al-‘Ilm al-Hudhuri. Mungkin ini juga yang dimaksud Nurcholis Madjid sebagai hanif dalam millah Ibrahim (agama-agama samawi).

Keinginan manusia menciptakan hukum tidak dilihat dari seperti apa produk hukum yang nanti ia akan lahirkan, darimana hukum dan untuk apa hukum itu. Prinsipnya, keinginan hadirnya hukum ialah eksistensi yang fitrahwi. Terserah seperti apa pengaplikasian dan interpretasi terhadap masalah-masalah social dan kehidupan kita.

Di dalam Negara, terdapat setidaknya dua konfigurasi politik yang dikotomis. Konfigurasi politik diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang bertentangan secara diametral, yakni konfigurasi politik DEMOKRATIS dan OTORITER. 

Konfigurasi politik demokratis singkatnya, susunan system politik yang membuka kesempatan bagi partisipasi masyarakat secara penuh untuk ikut aktif berperan dalam menentukan kebijakan umum. Dalam sebuah buku, An Intriduction to Democratic Theory, Hendry B. Mayo memberikan penerangan bahwa partisipasi ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik.

Di Negara yang konfigurasi politiknya demokratis terdapat pluralitas organisasi di mana organisasi penting relative otonom. Melihat konfigurasi ini, maka jelas bahwa masyarakat memberikan tumpuan hidupnya, dalam arti mengharapkan kebijakan yang populis, dari dewan perwakilan yang dipilih oleh masyarakat. Dengan adanya Parliamentary Threshold, tentu banyak suara rakyat yang tidak didengarkan (kehilangan fungsi) oleh partai yang telah mendapatkan kursi di parlemen. Ini juga menjadi rumit. 

Jadi, konfigurasi politik demokratis yang dikatakan demokratis, juga tidak terlalu demokratis dengan adanya wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dengan melalui partai yang mendapatkan kursi. Tentu kita bertanya, kemana suara-suara yang telah diserahkan kepada calon tertentu yang hidup dalam partai tertentu sementara partai tersebut tidak mendapatkan kursi di dewan perwakilan rakyat? Manalagi para oligarki yang bersembunyi di balik tangan-tangan emasnya?

Mari kita melihat konfigurasi yang kedua, konfigurasi politik otoriter. Secara sederhana system politik ini lebih memungkinkan Negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan Negara. Konfigurasi ini ditandai dengan dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan elit persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan Negara untuk menentukan kebijaksanaan Negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta di balik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.  

Secara spesifik, untuk mengualisifiksikan apakah konfigurasi politik itu demokrasi atau otoriter, yakni bekerjanya tiga pilar demokrasi: peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pers, dan peranan eksekutif. Partai politik dan lembaga perwakilan rakyat aktif berperan menentukan hokum Negara atau politik nasional. Kehidupan pers relative bebas, sedangkan peranan lembaga eksekutif (pemerintah) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat. Pada konfigurasi politik otoriter yang terjadi sebaliknya.

Fenomena politik kita yang terjadi baru-baru ini, pak Jokowi yang menjadi rival politik pak Prabowo, menjadikan politik kita sebagai politik bersahabat dengan dijadikannya Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Sebagai fakta, walaupun tidak keseluruhan seperti kasus Munir dan Novel Baswedan sebagai tanda tidak berjalannya demokrasi, pilar demokrasi telah dijalankan di bangsa kita dengan skala yang hampir menyeluruh dengan adanya dewan perwakilan rakyat dan partainya. Hanya saja kita membuka kemungkinan bahwa, usaha politik Jokowi menunjukkan benih-benih otoriter dengan memasukkannya Prabowo sebagai menteri.  

Perputaran elit politik kita yang kekal menjadikan bukti bahwa Indonesia semi otoriter juga semi demokratis yang membuat saya menjadi bingung. Namun jika konfigurasi politik otoriter ini terjadi secara perlahan, maka itu bukan masalah. Intinya adalah kesejahteraan untuk rakyat dan juga kemajuan bangsa. Sejatinya, demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, maka eksistensi prinsipil ialah rakyat sebagai revolusi politik untuk menuju kebajikan dan kesejahteraan bersama. 

Olehnya itu dalam kesimpulan ini, konfigurasi politik otoriter sama dengan konfigurasi politik demokrasi jika demokrasi memiliki prinsip kesejahteraan untuk rakyat. Intinya kan untuk rakyat, jika otoriter tapi mensejahterahkan rakyat maka itu adalah otoriter yang demokratis. Mungkin kita terlalu banyak terjebak pada bahasa yang baku sehingga pengertian kita pada fakta menjadi kaku. mungkin juga arti demokrasi sepanjang sejarah memiliki konsep yang berbeda.

Terimakasih
salam

Gambar diambil di sekretariat JAKFI PALOPO 😁

Post a Comment

أحدث أقدم