PALOPO, LITERASI FESTIVAL : TANAH YANG DIPAHAT KATA-KATA


Oleh: Muhidin M. Dahlan, penulis buku dan tinggal di Yogyakarta

Saya masygul saat pertama kali meletakkan dua kaki saya ke bumi Sawerigading. Betapa tidak, saya berjumpa dengan frase "Lagaligo" bukan lagi di lembar perkamen tua, melainkan dipahat sebagai nama sebuah bandara. 

Bagi orang yang hanya mengenal Luwu Raya dari teks, ini adalah unik dan sekaligus mengharukan. Nyaris tak ada satu pun dari ratusan bandara di Indonesia ini namanya diambil dari sebuah judul naskah kuno. Ini ucapan selamat datang yang keren. Terutama bagi saya sebagai salah satu dari beberapa orang yang membicarakan literasi di sejumlah tempat di Kota Palopo. 

Sureq Lagaligo adalah modal ikonik yang mewah bagi Kota Palopo khususnya Luwu Raya pada umumnya. Modal yang barangkali tak dimiliki kota/kabupaten lain di Sulawesi Selatan. Ia bukan hanya meyakinkan kita bagaimana praktik literasi sudah berlangsung di masa yang jauh, tetapi sekaligus menjadi mula percakapan dan diplomasi budaya ke mancanegara. 

"Palopo, Literasi Festival" yang diselenggarakan sehimpunan darah muda di seantero Luwu Raya, oleh karena itu, tak bisa dikatakan sekadar rintisan. Mereka sedang bekerja membangunkan api literer dari naskah yang kerap disebut sebagai yang terpanjang ketimbang Mahabharata dan Ramayana.

Tak ada alasan festival ini diabaikan posisinya. Jika seantero kota yang didukung pemerintah maupun segenap-genap kantong budaya duduk bersama dalam frekuensi kesadaran yang sama, tak mustahil festival yang masih kerlip ini bisa memendarkan cahaya yang gemilang.

Optimisme saya itu dipandu oleh semangat teks Lagaligo itu sendiri. Setidaknya empat api Lagaligo yang bisa kita jadikan obor melanglangi buana hidup. 

Pertama, Lagaligo menjadikan anak muda sebagai tokoh utama yang menggerakkan cerita. Persis dengan apa yang terjadi dengan "Palopo, Literasi Festival". Ia diinisiasi kalangan muda yang berjejaring antarkampus dengan satu keyakinan, literasi mestilah digaungkan untuk memenangkan masa depan.

Kedua, spirit Lagaligo adalah voyage, perjalanan. Dalam perjalanan, kehidupan direngkuh. Dari yang batil hingga batin. Dari adat hingga adab. Dari darat hingga laut. Dari kelam hingga kalam. Setiap perjalanan adalah misteri. Ketakterdugaan berlangsung. Karena itu, perjalanan adalah sebuah peneguhan. Kultur Lagaligo adalah berjalan dan berjalan. Kata orang, merantau. Kata saya, berguru kepada semua yang hidup di mana pun kita singgah. Bahkan, kepada yang paling bajingan sekalipun.

Ketiga, Lagaligo dengan ribuan larik itu memperlihatkan bukan saja sebuah cerita yang memang panjang, melainkan energi untuk merengkuh hidup. Tak hanya di kehidupan yang atas, melainkan tengah dan juga bawah. 

Lagaligo menunjukkan hidup yang saling terhubung, saling mengait, berkoeksistensi satu pribadi dengan lainnya, satu gender dengan gender lainnya, serta keterhubungan banyak peradaban sekaligus. Sebagai sebuah teks sastra, Lagaligo yang lahir di bumi Luwu Raya dengan terbuka memakai rumah bahasa yang merupakan gabungan antara Pallawa dan Arab yang kemudian disebut Lontaraq. Artinya, bukan saja kisahnya yang panjang dan enigmatik, Lagaligo memberitahu kita arti "keramahan" kepada budaya di luar kita.

Keempat, spiritualitas. Betapa pun, Lagaligo adalah teks yang di dalamnya menceritakan sebuah faset kehidupan pencarian spiritualitas dalam segala sisinya. Di jalanan, misalnya, material spiritual bisa ditemukan. Dalam pelayaran, spiritual itu bisa saja rebah di geladak. Dalam ritus persembahan ke dunia atas, spirualitas menjelma dalam tari dan nyanyian pengantar batin mendekati yang tak teraih dan teraba.

"Palopo, Literasi Festival", oleh karena itu, sekali lagi, bukan sekadar festival literasi biasa. Mestinya. Ia didorong oleh air kata-kata masa silam yang turut membangun Palopo seperti sekarang. Sebuah kota yang dipahat kata-kata berlarik panjang dan arkais yang datang dari budaya kecendekiaan.

Saya membayangkan, kelak festival ini bernama Lagaligo Literacy International Festival.****

Foto bersumber dari Akun Facebook "Muhidin M Dahlan II".

Tulisan ini pernah diterbitkan HARIAN PALOPO POS dengan judul yang sama

Post a Comment

أحدث أقدم