Pancasila Penuntun Arah Bangsa

Oleh : Samsul Alam
Sekretaris MD KAHMI Kota Palopo

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) bekerja sama dengan 10 kementerian dan lembaga meluncurkan situs pelaporan aparatur sipil negara (ASN) yang diduga terpapar radikalisme. Situs aduanasn.id diklaim untuk memastikan Pancasila dipegang teguh Aparatur Sipil Negara (ASN).

Beberapa waktu yang lalu
Lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dituduh telah disusupi radikalisme dan polisi taliban, isu ini mencuat ditengah pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.  Namun sebagian besar publik tidak mempercayainya dan mensinyalir isu Ini dipolitisir, bahkan diindikasi bersumber dari istana seperti yang disinyalir oleh Busyro Muqaddas, mantan pimpinan KPK.

Bahkan tuduhan ini dianggap ngawur dan tidak berdasar dan dapat dikategori sebagai hoaks yang bertendensi membentuk  _culture of fear_  untuk menyembunyikan agenda sesungguhnya yaitu melemahkan KPK yang berarti melemahkan pemberantasan korupsi sebagai musuh besar bangsa ini.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa isu radikalisme begitu mudah dipelintir dan dijadikan senjata untuk memojokkan institusi yang paling terpercaya sekalipun seperti KPK,  meskipun kini isu itu meredup dan padam seiring suksesnya DPR mensahkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK. 

Isu radikalisme kemudian berubah menjadi senjata kultural dan politik untuk membungkam individu maupun kelompok yang kritis dan menentang agenda-agenda rezim. ada insinuasi terhadap setiap gerakan terutama yang menggunakan simbol-simbol yang terkait dengan agama islam dalam setiap kali mengekspresikan berbagai tuntutan dan aspirasi yang berkembang dikalangan umat islam, yang selalu diperhadapkan dengan negara dan pada tingkatan paling ekstrim dihadap-hadapkan dengan senjata ideologis negara yaitu pancasila. Ingin mengganti pancasila sebagai dasar Negara menjadi semacam jampi-jampi yang selalu didengungkan yang dilafazkan rezim berkuasa untuk memojokkan kelompok-kelompok yang hanya karena tampilan-tampilan fisik luar seperti cadar dan celana cingkrang ( celana diatas mata kaki), atau hanya sekedar me-like  status dimedia sosial yang kemudian dikategorisasi terpapar radikalisme.

Pola ini mengulang cara orde baru menyingkirkan politik umat islam yang ingin menyuarakan aspirasi-aspirasi politik ummat dari panggung politik negara, bahkan kemudian disejajarkan dengan komunisme, dengan penamaan ekstrim kanan untuk politik umat islam dan ekstrim kiri untuk komunis. Ekstrim kanan merupakan stigma sosial politik yang dialamatkan negara kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan politik islam sebagai upaya mendirikan negara islam yang dalam kosa kata politik rezim ini disejajarkan dengan khilafah.

Dalam pengertian ini, radikalisme dibuat menjadi alat propaganda untuk memberangus berbagai aspirasi yang tidak dikehendaki oleh rezim berkuasa yang secara operasional didefenisikan sebagai gerakan yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berasaskan pancasila dan UUD 1945. Dalam posisi itu, isu radikalisme ditempatkan sebagai "ideologi" yang merongrong Pancasila dan dalam tempo yang bersamaan rezim berkuasa ingin mengokohkan pancasila yang _untouchable_ , eksklusif, keramat dan sakral,  dan seolah hanya representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Jika tidak dihadapi secara kritis  gejala ini bisa menyeret pancasila kembali sebagai ornamen politik yang represif dan bersifat monolitik untuk kepentingan kekuasaan semata seperti yang pernah dipraktekkan orde baru dimasa lalu.

Karena itu sebagai Ideologi, pancasila jangan diletakkan sebagai nilai yg sakral serta sumber legitimasi kekuasaan semata (politisasi ideologi). Pancasila harusnya ditempatkan pada posisinya sebagai payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik dan terbuka terhadap ide-ide baru sebagai lahan pesemaian menumbuhkan kultur saling berdialog dari beragam pandangan. Pancasila harus dipandang sebagai ideologi terbuka tetapi bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yg terkandung di dalamnya, namun mengekplesitkan wawasannya secara lebih konkrit, kemampuan memecahkan masalah-masalah aktual dan senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi rakyat, dengan demikian jangan sekali-kali menjadikan pancasila alat politik kekuasaan untuk melabeli suara-suara kritis secara semena dengan stigma-stigma yang dibuat secara serampangan dan dangkal.

*Mengisolasi Isu Radikalisme*

Penggambaran media _(media profiling)_ yang sangat bias secara intensif dan sistematis yang kemudian secara semena-mena mengkonstruksi kelompok-kelompok tertentu sebagai radikalis hanya karena tampilan fisik (cadar dan celana cingkrang), media pada akhirnya meliput mereka maka yang muncul justru adalah konstruksi yang bersifat negatif. Ada kecenderungan untuk mem-blow up isu ini sehingga seolah menjadi isu nasional yang bersifat darurat. Penggambaran media seperti itu kemudian dijadikan sebagai referensi oleh rezim berkuasa untuk mengambil tindakan-tindakan politik yang terkadang tidak memperhatikan prinsip-prinsip hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Hal yang paling mencemaskan adalah ketika Secara institusional radikalisme mewujud pada kebijakan negara yang melakukan tindakan pengawasan _(surveillance)_, memata-matai terhadap individu-individu maupun kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi (islam) tertentu tanpa ukuran-ukuran hukum yang jelas dan konkrit, negara menjelma menjadi kekuasaan teror _(state terorisme)_, dimana negara melakukan penundukan secara paksa dan represif yang bersifat fisik _(state sponsored)_. 
Pada konteks ini, negara (pemerintah) mesti hati-hati mengambil tindakan yang diperlukan menangani isu radikalisme, karena sebagai negara hukum yang demokratis, negara telah menyatakan dirinya melindungi serta menghargai kebebasan berekspresi dan berpendapat seperti yang ditegaskan dalam UUD 1945.

Sebaliknya negara justru harus hadir memfasilitasi perbincangan-perbincangan warga yang beragam dan  multiperspektif maupun yang bersifat ideologis termasuk yang bersumber dari agama, tidak perlu ada kecemasan yang berlebihan dan tak berdasar (phobia), bukankah Pancasila telah melewati zaman dan alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai ideologi negara dan dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. (Pidato Habibie,  1 Juni 2011)

Karena itu perlu ada upaya yang serius dan sungguh-sungguh melakukan purifikasi terhadap gerakan-gerakan yang dipandang radikal, tindakan ini diperlukan ditengah mudahnya negara membuat label terhadap individu maupun kelompok atau organisasi yang dianggap penganut atau terpapar rasikalisme,  ibarat menarik rambut dalam tepung, prinsip ini yang mesti dipedomani oleh negara dalam menangani radikalisme ditengah _passion_ politik ummat islam yang menemukan  kembali momentumnya dalam era keterbukaan ini. Dengan demikian kita sebagai bangsa mampu menempatkan kembali pancasila pada kedudukannya secara konstitusional sebagai penuntun arah perjalanan bangsa seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa.

Post a Comment

أحدث أقدم