Kisah Mantan Nelayan


MENDENGAR KISAH SEORANG MANTAN NELAYAN

Oleh : Ahmad Firman Ashari

Di rumah sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, saya bertemu dengan seorang keluarga pasien yang berasal dari Bulukumba bagian timur [tepatnya dari Tanah Beru]. Dia datang kesini karena mengantar kakaknya yang dirujuk akibat kecelakaan lalu lintas. Sudah tiga hari lamanya dia rela menahan dinginnya lantai ubin di koridor rumah sakit demi menunggui kakaknya di ruang ICU. 

Sebagai sesama orang Bulukumba, kami dengan cepat menjadi akrab. Selain pula karena memang orangnya baik, ramah dan bersahabat. Dengan menggunakan bahasa Konjo yang kental, dia malah bercerita banyak hal kepadaku, termasuk pengalaman hidupnya selama ini. Sebagai orang yang suka mendengar pengalaman seseorang, tentunya saya senang akan hal itu.

Katanya, saat ini dia bekerja sebagai supir pengangkut ikan dengan tujuan ke pasar-pasar tradisional. Beberapa pasar di Bulukumba adalah destinasinya. Begitu pun dengan beberapa pasar serupa di kabupaten lain. Rutinitas ini sebenarnya barulah dijalaninya sekitar lima tahun terakhir. Sebelum itu, dia adalah seorang nelayan yang saban waktu menjelajahi lautan.

Sekiranya dia tidak pernah mengalami satu insiden yang membuat separuh badannya nyaris lumpuh, maka dia tidak akan meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan. Baginya, menjadi nelayan adalah bagian dari hidupnya. Dia bahkan meninggalkan sekolahnya dan memilih menjadi nelayan di usia muda. Pekerjaan ini telah mentradisi turun temurun di keluarganya sudah sejak lama.

Saat kejadian naas itu menimpanya, dia baru saja naik ke perahu setelah dari dasar lautan mencari teripang. Awalnya dia hanya merasa kedinginan, tapi kemudian tiba-tiba menjadi mati rasa. Seandainya kata dia, badannya dipotong-potong saat itu juga, maka dia tidak akan merasakan sakit. Untungnya itu terjadi di atas perahu. Sekiranya di dasar lautan, dia mungkin sudah tiada. 

Padahal sebelum itu, dia telah menjelajah menantang ombak kemana-mana. Saat kutanya apakah pernah berlayar hingga ke Selayar? Dia tersenyum, lalu berujar: itu terlalu dekat. Tempat terjauh yang pernah saya layari adalah Australia. Bahkan, saya pernah ditahan selama sebulan lamanya di negeri kanguru itu. Disana saya menyelam mencari teripang dan lobster, katanya lagi. 

Selain Australia, dia biasa menjelajah ke timur. Perairan Buton, Ambon, Ternate dan Papua adalah diantaranya. Dia juga adalah pemancing ikan tuna. Menurutnya secara pribadi, spot pemancingan tuna terbaik itu ada di perairan Buton. Saking banyaknya tuna disana, dia sampai berujar: sungguh sial para pemancing sekiranya dia memancing disana dan tidak mendapat tuna seekor pun. 

Memancing tuna bukanlah pekerjaan yang mudah katanya. Sebabnya dia harus menunggangi perahu cepat nan panjang agar bisa mendahului ikan lumba-lumba. Loh, apa hubungannya dengan lumba, tanyaku dengan penuh penasaran. Iya, karena disekitar ikan tuna itu ada ikan-ikan kecil yang mengikutinya. Nah, ikan kecil itulah makanan lumba. Oo begitu yah.

Tapi tak selamnya dia juga beruntung mendapatkan tuna. Pernah suatu ketika di perairan lain, dia terombang ambing di lautan selama empat hari lamanya tanpa hasil. Kisahnya itu mengingatkanku pada sebuah novel klasik berjudul 'The Old Man and the Sea' yang ditulis oleh jurnalis Amerika Serikat, Ernest Hemingway.

Novel itu bercerita tentang seorang pemancing senior tua bernama Santiago yang suatu waktu mendapat kesialan karena umpannya tak dimakan ikan seekor pun. Kejadian itu berlangsung selama 80 hari lebih lamanya. Namun karena kegigihannya, pada hari-hari setelahnya dia akhirnya mendapatkan seekor ikan besar bernama ikan Marlin. Kisah fiksi ini sangatlah kesohor. Bahkan disebut-sebut bahwa gaya penulisannya sangat mempengaruhi gaya penulisan kala itu.

Kembali lagi. Dalam kisah-kisah pelayarannya itu, dia banyak berinteraksi dengan beberapa suku-suku pelaut, seperti Bajo, Mandar, Buton dan Makassar. Baginya, mereka semua itu lebih daripada saudara sendiri. Di lautan, kami senasib sepenanggungan dengan mereka. Jujur, selain sebagai saudara, mereka juga adalah pelaut-pelaut ulung di negeri ini.

Namun sayang, penuturan kisahnya itu segera berakhir seiring tenggelamnya matahari di ufuk barat. Kami pun berpamitan setelah itu lalu kemudian berpisah. Di tengah jalan, saya baru tersadar tentang satu pertanyaan yang luput saya tanyakan. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini: 

Sebagai seorang mantan nelayan, bagaimana pendapatmu tentang tidak masuknya kembali Ibu Susi Pudjiastuti menjadi menteri Kelautan dan Perikanan?

Ah, semoga saja saya bisa bertemu lagi.

Keterangan foto: salah satu sampan nelayan di pesisir pantai Palopo.

Post a Comment

أحدث أقدم