GERAKAN LITERASI UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI LITERASI

SURAHMAN, Penulis Buku Potret Politik,
Birokrasi dan Kemayarakatan
Minggu, 20 Oktober 2019 pemerintah Kecamatan Wara Timur Kota Palopo mengadakan diskusi publik bertemakan Sinergitas Pemerintah dan Masyarakat Upaya Peningkatan Minat Baca. Kegiatan ini berlokasi di Warkop D’Linoe,moderatornya pemilik Akalanka Bookstore dan Akalanka Publisher yang akrab disapa Isnul. Beberapa elemen masyarakatyang hadir nampak antusia menyimak pemaparan para narasumber begitupun diriku.


Ada beberapa poin menarik dari paparan para narasumber yang menurut saya penting untuk diwacanakan kepada khalayak melalui tulisan ini:

Pertama, literasi sebagai resolusi konflik yang disajikan oleh Ruben Lewi L Dero. Narasumber pertama memulai pemaparan dengan menganalogikan konflik layaknya suatu pohon yang memiliki dahan, ranting, batang, daun, dan akar. Menurutnya, untuk mengatasi konflik yang harus dilakukan menghancurkan akar konflik tersebut.Dengan demikian, kita perlu mengetahui apa yang menjadi akar konflik tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, narasumber mencotohkan pada negara-negara skandinavia yang menurutnya tidak punya konflik seperti Norwegia, Finlandia, Swedia dan lain sebagainya. Salah satu karakteristik negara-negara skandinavia yaitu memiliki minat baca yang tinggi dan bagus. Artinya, semakin tinggi tingkat literasi suatu bangsa, maka semakin jauh bangsa tersebut dari konflik. Dengan demikian dapat disimpulkan penyebab utama terjadinya suatu konflik yaitu rendahnya tingkat literasi suatu bangsa. 

Tahun 2017 Kominfo merilis data UNESCO mengenai tingkat literasi di Indonesia. Berdasarkan data UNESCO, Indonesia berada diurutan kedua dari bawah tingkat literasinya di dunia. Lebih lanjut UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatikan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, terdapat 1 orang yang giat membaca.

Data lain yang menunjukkan tingkat literasi masyarakat Indonesia rendah diwartakan Detiknews pada 05 Januari 2019 dengan merilis hasil survei Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2015 dan hasil survei Central Connecticut State University (CCSU) tahun 2016. Hasil survei OECD menempatkan tingkat literasi Indonesia di posisi 62 dari 72 negara yang disurvei. Sedangkan hasil survei CCSU menunjukkan tingkat literasi Indonesia diurutan 60 dari 61 negara yang disurvei.

Kedua, Literasi sebagai alat kemajuan daerah, pemantiknya Asran Salam seorang pegiat literasi. Dalam perspektif Asran tidak ada di dunia ini peradabannya maju tanpa dilandasi dengan literasi yang kuat. Ia kemudian mengilustrasikan peradaban Yunani dan Romawi, begitupun negara-negara Skandinavia dan negara China yang memiliki tingkat literasi yang sangat kuat. 

Lebih lanjut, Asran mengatakan bahwa literasi berbanding lurus dengan kesejahteraan. Artinya, semakin tinggi tingkat literasi suatu negara, maka semakin sejahtera negara tersebut. Itulah kemudian yang menjadi dasar betapa pentingnya literasi untuk kemajuan bangsa, negara, dan daerah.

Sang pegiat literasi ini kemudian menjejaltiga tahap literasi yaitu tahap penuntasan buta aksara dan tahap membaca sebagai tuntutan profesi, dan tahap membaca sebagai kebutuhan nutrisi jiwa. Menurutnya, Indonesia pernah memiliki sejarah literasi yang kuat tapi literasinya baru berada pada tahap pertama yaitu tahap penuntasan buta aksara yang dijalankan oleh pemerintah orde baru. Saat ini, kita sudah berada di tahap kedua literasi yaitu membaca. 

Banyak orang Indonesia melakukan aktivitas membaca dan menulis karena tuntutan profesi, seperti dosen, guru, blogger, dan juga mahasiswa. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum menjadikan membaca sebagai kebutuhan nurtrisi jiwa yang merupakan tahap ketiga literasi. Layaknya tubuh kita yang membutuhkan asupan makanan yang bernutrisi pada saat kita lapar, begitupun otak kita butuh nutrisi sebagai kebutuhan jiwa dan rohani. Sehingga, ketika kita tidak pernah mengisi kepala kita dengan membaca bacaan yang bergizi maka dia akan kotor, lapar dan seterusnya. Dan lapar yang paling mengerikan adalah lapar gagasan. Lapar makanan dapat kita selesaikan secepatnya, tapi lapar gagasan hanya dapat diselesaikan dengan banyak membaca.

Membangun suatu daerah harus dimulai dari gagasan atau konsep yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk kerja. Konsepkan apa yang hendak dikerjakan, dan kerjakan apa yang telah dikonsepkan.  

Asran menyatakan bahwa problem dasar di Indonesia bukanlah persoalan minat baca rendah atau tidak ada yang ingin membaca. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan sang pegiat literasi ini, problemnyaadalah distribusi buku yang tidak berjalan dengan baik. Menurutnya, masyarakat di desa bukan tidak ingin membaca tapi kurangnya buku yang dapat dibaca. Ia memberikan satu fakta bahwa masyarakat desa memiliki minat baca yang baik dengan membentuk rumah baca Akitanawa di salah satu desa di Kabupaten Luwu. Hasilnya, setiap hari kurang lebih 40 orang anak-anak datang untuk membaca. 

Sedikitnya, ada dua hal yang saya simak untuk meningkatkan minat baca di suatu daerah; pertama mengoptimalkan peran perpustakaan dengan cara menyalurkan buku-buku bacaan ke pelosok-pelosok desa, dusun, RT, dan RW. Kedua, mengimplementasikan gerakan politik literasi. Umumnya, masyarakat Indonesia lebih banyak membincang tentang politik kekuasaan, namun sangat jarang berbicara politik literasi.

Ketiga, pemuda dan literasi yang disingkap oleh Haeril Al Fajri. Narasumber ini memulai dengan beberapa hipotesis. Menurutnya, jika suatu bangsa maju karena peradabannya, maka mesirlah yang akan paling maju. Jika suatu bangsa maju karena luas geografisnya, maka Singapura tidak akan maju. Jika suatu bangsa maju karena faktor kondisi alamnya, maka Jepang tidak akan maju. 

Lantas, apa yang menjadi faktor determinan suatu bangsa atau negara dikatakan maju? Dalam pandangan Haeril yang menjadikan suatu negara itu maju terletak pada sumberdaya manusia yang memiliki tingkat literasi sangat baik.

Lebih lanjut, ia mengatakan selaku generasi muda yang berada di Tana Luwu, kita memiliki sejarah intelektual yang diakui oleh dunia. Jadi dipungkiri atau tidak dipungkiri, di dalam darah anak muda tana luwu mengalir darah literasi. Ketika generasi muda tana luwu malas membaca dan menulis, itu sama artinya generasi muda tana luwu telah mengabaikan sejarah intelektual yang diabadikan oleh para leluhur dalam bentuk epic I Lagaligo.

Problem generasi muda saat ini menurutnya, sangat mudah mengkonsumsi hoax (berita bohong) yang disebabkan oleh faktor kurangnya referensi pengetahuan pembanding,sehingga hoax tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Problem lain yang dihadapi generasi muda di era kiwari ini yaitu hate speech (ujaran kebencian). Faktor utama yang menyebabkan generasi muda sangat mudah sekali memaki, ataupun membenci orang lain yaitu kurangnya pengetahuan untuk bertindak bijaksana terhadap orang lain. 

Ada suatu adagium yang menyatakan bahwa kebencian sangat dekat dengan kebodohan. Semakin sedikit referensi pengetahuan seseorang, semakin mudah dia tersulut emosi, semakin mudah dia membenci, bahkan semakin mudah pula dia memprovokasi orang untuk membenci orang yang dia benci.

Dalam perspektif Haeril, terdapat tiga fase literasi yaitu fase minat literasi, fase budaya literasi, dan fase daya literasi. Seseorang yang berada pada fase minat literasi memiliki ketertarikan untuk membaca sebuah buku, meskipun ia baru tertarik membaca sampulnya, daftar isinya, dan membaca satu atau dua sub bahasan dalam buku tersebut. 

Fase berikutnya yaitu budaya literasi. Seseorang yang berada pada fase budaya literasi memiliki kebiasaan membaca yang sangat intens, dan mampu menguraikan isi bacaannya dengan sangat jelas. Sedangkan, orang yang berada pada fase daya literasi, selain memiliki kebiasaan membaca juga memiliki kemampuan menulis yang sangat baik.

Seyogyanya, generasi milenial saat ini memiliki tingkat literasi sangat baik, karena mereka terlahir dari orang tua yang terdidik dan terpelajar. Problem yang dihadapi sebagian besar generasi milenial di era society 5.0yaitu mereka begitu terbuai dengan kenyamanan teknologi. Mereka sangat nyaman bermain gadget, nyaman bermain game online. Namun, mereka tidak begitu nyaman dengan membaca buku dan menulis naskah buku. Mereka telah terbiasa membaca status di media sosial dan juga menulis status di media sosial.

Bukan hanya institusi politik dan ekonomi ekstraktif yang dapat mengakibatkan negara gagal seperti yang diutarakan Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Sistem yang tidak mampu meningkatkan budaya dan daya literasimasyarakat juga dapat mengakibatkan suatu negara gagal memakmurkan rakyatnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendesain suatu sistem gerakan literasi untuk menciptakan generasi literasi. Sebagaimana telah dijelaskan oleh para narasumber bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa dipengaruhi oleh kemajuan literasinya.

Akhir kata, Kota Palopo harus berbangga memiliki seorang camat yang responsif terhadap gerakan literasi. Selain peran pemerintah, generasi muda dapat berperan sebagai ujung tombak gerakan literasi demi mewujudkan generasi literasi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama