Review : OBSESI KEDUNGUAN ( Buku Matinya Kepakaran )


𝗢𝗕𝗦𝗘𝗦𝗜 𝗞𝗘𝗗𝗨𝗡𝗚𝗨𝗔𝗡

Oleh : Muhammad Syahuddin

Tak ada sangkalan. Kita hidup dalam arus informasi yang lalu-lalang. Terdepan dalam penyebarannya, tentu melalui internet. Dalam rimba internet, seseorang bisa menjadi pakar dalam segala hal. Kepakaran dipertanyakan, dimanakah batasannya. Benarkah kepakaran telah mati? Sebagaimana yang ditulis Tom Nichols – 𝑡ℎ𝑒 𝐷𝑒𝑎𝑡ℎ 𝑜𝑓 𝐸𝑥𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖𝑠𝑒. 
.
Dunia yang dilipat, tak berjarak dan instan, tak melulu terlihat baik. Disrupsi - terjerabut dari akar - pengetahuan bisa melanda siapa saja. Gelembung informasi yang menjejal pikiran kita, boleh jadi suatu obsesi kedunguan (𝑖𝑔𝑛𝑜𝑟𝑎𝑛𝑐𝑒). Otoritas pengetahuan menjadi sumir, tak lagi soal akademis - tapi bersifat politis. 
.
Tom Nichols, memang menyorot perilaku masyarakat Amerika. Soal nitizen yang kadung kebablasan. Di sini, negeri yang bangga dengan keramahan, justru tumbuh subur benih 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑖𝑑 – hoaks yang disalahartikan sebagai fakta. Fenomena melek informasi, yang tak sejalan dengan kedewasaan berpikir, boleh jadi biang keladi. Namun, bukan itu saja soalannya. Ada semacam keganrungan baru bagi semua orang. Serba tahu terhadap segala hal. 
.
Berbagai teori bermunculan, bukan hasil riset melainkan asumsi yang dibentuk oleh opini. Seperti teori bumi datar yang dikumpul dari kepingan informasi google. Dipercaya oleh sekelompok orang, lalu menjungkirbalikkan hasil penelitian ilmiah selama ribuan tahun. Popularitas media terlanjur mengalahkan makna kepakaran, termasuk dalam ilmu agama. Tak heran seorang Quraish Shihab, pakar ilmu hadis – yang mendunia – dihujat oleh yang tak memiliki latar pendidikan yang jelas, tapi populer. 
.
Kekacauan makna “pakar” meluber hingga sistem pemerintahan. Jabatan dan kewenangan lebih bersifat politis ketimbang kepakaran. Pakar dimaknai berdasarkan pembeda, antara “orang dekat” versus “orang jauh”, atau “orang dalam” versus “orang luar”. Bahasa yang dikritik oleh Derrida sebagai oposisi biner. Bila bahasa membangun makna versus, maka disitu ada makna yang berkuasa dan ada makna marjinal – yang terpinggirkan. Sederhanya “orang dalam”= makna yang berkuasa, “orang luar”= makna yang terpinggirkan. Yang terpinggirkan menjadi terisolir, yang kuasa menjadi dominan. Terjadilah apa yang disebut dominasi sebagai alat menindas marjinal. Termasuk istilah yang sering kita dengar; mayoritas dengan minoritas. 
.
Tom Nichols, memberi gambaran penyebab matinya kepakaran – menurut analisa bacaan saya. 
.
Pertama; cara berpikir simflikasi, hanya mau menerima –percaya- terhadap informasi, yang sesuai dengan keinginan(nya) saja. Tidak peduli soal akurasi suatu informasi, bila tak sesuai keinginan harus ditolak. Meski terpojok dengan hasil yang faktual, seorang yang berpikir simflikasi akan terus membuat argumen pembenaran –walau tahu salah- dengan cara oposisi biner. Bila bertemu dengan orang yang seperti itu, yakinlah bahwa ia terobsesi dengan kedunguan. 
.
Kedua; komersialisasi pendidikan. Mungkin anda dan saya termasuk di dalamnya. Lembaga pendidikan, tidak sepenuhnya melahirkan pakar. Gelar akademis tentu gambaran kepakaran, namun tak meniscayakan  bahwa seseorang -pasti- pakar dalam bidangnya. Ada sarjana bahasa inggris, namun tak mampu berkomunikasi dengan bahasa inggris. Ajaibnya, malah pakar dalam bidang tafsir Quran, lalu menghujat  Quraish Shihab tak memahami al-Quran. Lembaga pendidikan tak ubahnya seperti pasar, yang dituntut untuk selalu memenuhi selera pasar. Dalam pasar ada prinsip tak tertulis, konsumen tak pernah salah. Maka berlombalah lembaga pendidikan menjadi produsen menawarkan jasa kepakaran. Tatkala konsumen membludak, lembaga pendidikan menjadi kewalahan menciptakan pakar, namun bungkusnya dipercantik dengan gelar. 
.
Ketiga; jurnalisme yang buruk. Media 𝑚𝑎𝑖𝑛𝑠𝑡𝑟𝑒𝑎𝑚 tak lagi menguasai pasar informasi. Akun media sosial bisa menjadi lebih viral, dengan dukungan pola pikir simflikasi. Ada kecendrungan mengejar popularitas dibanding kualitas. Tak heran bila yang remeh-temeh, lucu dan aneh punya banyak jamaah. Perlu diketahui, internet menyebarkan informasi berdasarkan algoritma pencarian kita. Di sana, google akan memfilter informasi sesuai keinginan kita. Jurnalime membawa informasi yang buruk, saat membuat rekayasa dibalik fakta sesuai keinginan pembaca, meskipun tak nyata.
.
Menjadi pakar dalam segala hal, bukan sesuatu yang mustahil. Toh, antara para pakar juga terjadi perbedaan pendapat. Kepakaran bukan berarti sepenuhnya tak menuai  kritikan. Ada tanggungjawab moral dan sosial di dalamnya. Karena itu, pendapat pakar menjadi pertimbangan dalam berbagai bidang. Termasuk menentukan kebijakan dalam pemerintahan, seperti hukum dan undang-undang. Lalu siapa yang menentukan kepakaran, bila para pakar berbeda pendapat. Di sinilah kepakaran mengalami kematian lagi, karena yang menentukan hasil akhir adalah aparatus (negara). Contohnya dalam revisi UU-KPK, terjadi perdebatan alot antara pakar hukum tata negara. Banyak yang menolak, namun ada juga yang mendukung. Tapi apalah daya suara kepakaran, bila kekuatan negara sudah memutuskan. 
.
Mungkin ada benarnya. Kita memang sedikit tahu, tentang banyak hal, bukan tahu banyak, tentang sedikit hal. Seolah kita tahu banyak, tentang banyak hal. Padahal sebenarnya hanya terobsesi pada kedunguan.
.
.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama