Perempuan : di antara Tafsir Misoginis dan Takut Nikah

Perempuan : di antara Tafsir Misoginis dan Takut Nikah
Oleh : Salsabila Resa

Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, 87,18% dari jumlah penduduknya. Ajaran Islam banyak diabstraksikan kedalam kebudayaan masyarakat setempat, misalnya saja penggunaan hijab bagi perempuan seperti yang  al-Qur'an tandaskan dalam surah al-azhab 33:59. Namun hijab yang dijadikan formalitas seperti sekarang, modelnya berbeda dengan model yang digunakan di era sebelumnya sementara tafsir misoginis tentang hijab masih ada dan berkembang hingga saat ini, yang menganggap bahwa perempuan sebagai sumber godaan maka sudah sepantasnya mereka menutup aurat yang jika tidak akan berbahaya bagi dirinya dan kaum lelaki. Penafsiran ini mengalami perkembangan sampai kepada perempuan sebagai sumber masalah. Hanya saja jika memang dikatakan bahwa tubuh perempuan yang auratnya tidak ditutupi adalah sebuah bahaya maka bagaimana dengan laki-laki yang melihat perempuan berkerudung panjang atau bahkan bercadarpun memikirkan hal-hal yang tidak senonoh? Artinya bahwa sekeras apapun usaha perempuan dalam menutupi aurat mereka, akan tetapi laki-laki tak mampu menjaga pandangannya, maka ayat tentang hijab hanya sebatas tulisan dalam sebuah kitab. 

Di dalam Q.S 33:59 bahwa hijab sebagai pelindung maka secara kultur berdasarkan tafsir yang patriarkal beranggapan bahwa perempuan memang mahluk yang lemah yang tidak mampu melindungi diri mereka sendiri. Perempuan, sebagai makhluk yang inferior membutuhkan seorang hero dari jenis laki-laki dengan konstruk yang terbangun di masyarakat bahwa memang laki-laki adalah makhluk yang superior. Hal ini juga dijelaskan pada Q.S Al-baqarah 2:228.

Berdasarkan pelabelan yang sudah menjadi konstruk yang mengakar, maka hal ini diterima secara legowo, manis hati oleh beberapa masyarakat terutama mereka yang bermukim di wilayah adat. Akibatnya melahirkan pandangan bahwa perempuan baiknya menikah di usia yang lebih dini guna terhindar bahaya. Pernikahan dini menjadi hal yang sangat wajar di beberapa wilayah adat meski di beberapa wilayah seperti di Sulawesi Selatan terjadi karena campur tangan orang tua (perjodohan). Sebagian yang lainnya karena inisiatif dari anak tersebut. Faktor utama ialah kurangnya pemahaman tentang pernikahan itu sendiri dan juga konstruksi masyarakat tentang perempuan yang tak perlu sekolah tinggi-tinggi sebab masa depannya adalah kerja di dapur, mengurusi suami dan anak serta pekerjaan domestik lainnya (domestikasi). 
konstruk ini dipahami masyarakat sebagai sebuah kodrat perempuan sebagai seorang istri dan ibu juga seorang yang telaten dalam ranah privat. 

Banyak juga kasus yang menjadi sebab pernikahan dini karna saling melarikan pasangan dengan alasan suka sama suka dan takut tak direstui. Hal ini biasa dikatakan sebagai Silariang dalam bahasa bugis, di NTB disebut sebagai Mararik

Pernikahan dini bertolak belakang dengan konstitusi di mana dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 7 tentang perkawinan menegaskan bahwa batas usia untuk melangsungkan pernikahan adalah perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, namun sejalan dengan putusan MK No.22/PUU-XV/2017 bahwa disepakati pada pasal 7 ayat 1, perempuan dan laki-laki hanya diizinkan menikah apabila telah berumur 19 tahun. landasan disepakatinya putusan ini sebab umur 16 tahun dianggap inkonstitusional dengan adanya UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,  bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun. Namun meskipun ada aturan demikian, praktek pernikahan dini telah membudaya di masyarakat sehingga sangat sulit untuk keluar dari kemelut budaya tersebut dan juga kurangnya penegasan upaya dari pemerintah untuk memassifkan aturan ini, seolah-olah pemerintah membuat aturan hanya sebagai pajangan (yuridische geltung) tanpa mengikut sertakan konsekuensi logis di dalamnya. Dalam prakteknya, usia anak yang menikah mengalami manipulative secara administrasi demi kelancaran pernikahan yang merupakan bagian permohonan dari pihak keluarga pada stekolder desa.

Pernikahan dini berlangsung sebab pahaman perempuan itu sendiri yang terkunci pada konstruksi bahwa tugas perempuan memang menjadi istri dan melahirkan. Tentu hal ini tidak terlepas dari ajaran dan konstruk turun-temurun (culture). Ditambah lagi ada konsep Pamali yang menaganggap menolak lamaran sama halnya menutup pintu jodoh sebab setelah perempuan dilamar dan menolak lamaran tersebut maka tidak akan ada lagi yang akan melamarnya. Ketakutan semacam ini yang mendorong perempuan tidak bisa untuk tidak mengafirmasi lamaran tersebut dan menikah di usia dini.

Pelaku pernikahan dini rata-rata berusia di bawah 16 tahun. Ada yang masih berada di bangku SD dan SMP serta sangat sedikit yang mampu mengenyam pendidikan di SMA, bahkan dunia pendidikan hanya dijadikan sebagai tempat untuk menunggu jodoh. Faktor lain yang menjadi pendorong  adanya praktek ini adalah konstruksi pikiran di wilayah adat tentang keterbatasan usia yang rentan dialami perempuan, sehingga jika perempuan ingin mengeyam pendidikan tinggi, tentu membutuhkan waktu yang lama dan yang ditakutkan adalah tak ada laki-laki yang meminang setelahnya sebab minder dengan pendidikan perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki yang pada akhirnya perempuan tersebut menjadi perawan tua  atau gadis tua yang system organ reproduksinya diragukan lagi dimasyarakat.  

Pandangan untuk jangan terlalu tinggi sekolah sering sekali saya dengar dari orang-orang di lingkungan saya, tamanya dari bapak-bapak, namun mendapatkan pembelaan dari kaum perempuan/ibu-ibu. Seolah-olah memang ada sebuah penyesalan dalam melangsungkan pernikahan di usia muda. Ketakutan dari masyarakat bahwa adanya keterbatasan usia dimiliki perempuan sehingga  mendorong praktek nikah dini merupakan sudut pandang yang sempit. Jika kita melontarkan pertanyaan, apa neraca dalam menentukan batas usia? Jika  neracanya adalah umur maka banyak juga orang dengan umur yang cukup tua namun dengan wajah yang masih sangat muda. Ada juga orang dengan umur muda dengan wajah yang relative lebih tua. Juga ketika menyelesaikan pendidikannya pada sarjana dan magister baru berumur masing-masing 22 dan 24 tahun jika lulus tepat waktu, dimana letak tuanya? Jika kemudian ditakutkan adalah tidak ada yang ingin meminangnya dengan alasan minder maka terjadi lagi penyempitan nalar oleh masyarakat sebab laki-laki yang setara atau lebih tinggi dari pendidikan  perempuan tersebut jumlahnya juga tidak sedikit. 

Selain itu, faktor pendukung (teologis) adalah di dalam Q.S al-isra ayat 32 yang menjabarkan larangan untuk mendekati perbuatan zina, di mana ketika pernikahan dini tidak dilanggengkan maka yang terjadi adalah praktek pacaran yang dianggap sebagai suatu jalan menuju perzinahanan,  bahkan orang yang berpacaran dalam pemahaman masyarakat dianggap telah melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan. Oleh karenanya hal ini tidak bisa dibiarkan sebab diniliai akan mengotori daerah tertentu. 

Masyarakat adat menganggap bahwa ujung dari pacaran adalah hamil di luar nikah maka untuk  mengantisinya, pernikahan dini dianggap sebagi jalan. Bahkan ada pasangan yang Merarik atau Silariang dan berusaha untuk dipisahkan. Alasan yang didengungkan adalah mereka telah melakukan sebuah hubungan yang harus segera dinikahkan.

Impilkasi dari praktek pacaran adalah ketakutan masyrakat pada perempuan yang tidak perawan lagi. Sebenarnya nilai jual daripada perempuan adalah pada keperawanannya. Sementara laki-laki bukan menjadi sebuah masalah sosial ketika tak perjaka lagi.  Bukan hanya dalam konstruk budaya pernikahan, dalam dunia pekerjaan pun kadangkala ada tes keperawanan namun sialnya tak ada tes keperjakaan. Seolah bahwa potensi seseorang ada pada selaput darahnya. Bahkan baru-baru ini,  tahun lalu, ada fenomena pemulangan seorang atlet dalam ajang olimpiade sebab dinilai tidak perawan lagi. Pertanyaan besar, kenapa harus dihubungkan dengan selaput darah sementara yang akan ikut olimpiade bukan selaput darah?

Norma keperawanan ini sangat mengakar di tengah-tengah masyarakat sebagai masalah sosial sehingga untuk  menghindari terjadinya hal ini maka jalannya adalah menikah. Ketika telah menikah  bukan lagi menjadi masalah apakah perempuan perawan atau tidak sebab telah memiliki suami dan pelayanan seks merupakan sebuah ketaatan kepada seorang suami. 

Kultur menikah dini bermula dari konstruk perempuan yang memiliki label lemah, emosional dan sebagai sumber godaan melahirkan konstruk struktural bahwa perempuan dengan segala pelabelan tersebut menjadi sebuah beban sosial dan juga beban keluarga yang dampaknya adalah perempuan tak memiliki ruang, baik dalam lingkup pendidikan dan pekerjaan yang pada akhirnya jalan satu-satunya adalah menggantungkan diri kepada laki-laki.

Pelaku usia dini banyak tak mengerti apa sebenarnya yang menjadi substansi dari sebuah pernikahan. Dengan cita-cita yang awalnya  hanya ingin menjadi ibu rumah tangga dan memiliki anak namun setelahnya ada kehampaan peran setelah dicapainya cita-cita tersebut oleh pelaku nikah dini. Tak sedikit yang menyesal meninggalkan masa mudanya digantikan menjadi manusia yang hidupnya hanya didedikasikan pada suaminya. Ditambah lagi pada Q.S An-nisa 4:34 tafsir misoginis yang berkembang di budaya patriarkal bahwa karena laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan dan juga karena laki-laki yang memiliki tugas untuk menafkahi perempuan maka ridho suami adalah ridho Allah, sehingga istri jika ingin melakukan suatu hal haruslah atas izin suaminya. Dari sini tergambarkan kemerdekaan perempuan ada pada  kehendak suaminya.  Dampaknya  setelah menikah di usia dini, masalah sosial yang dialami perempuan tidak berhenti. Perempuan banyak yang mengalami keguguran, meninggal akibat kehamilan yang belum siap, mengalami KDRT, serta ketidaksepakatan poligami dan laju pernikahan dini sebanding bahkan lebih kecil dari angka perceraian yang sangat besar.

Banyak yang berpendapat bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan sakinah atau ketenangan seperti yang tertera pada  Q.S Ar-Rum 30:21. Faktanya banyak yang berteori seperti demikian namun tidak sejalan dengan penerapannya ditandai dengan tingginya angka perceraian selaju dengan angka penikahan dini.

Kesimpulanya adalah masyarakat terutama di wilayah adat dengan konstruk budaya patriarki menggunakan tafsir al-Quran yang diterapkan dalam keseharian dan mencoba melangsungkan budaya patriarki dengan kekuasaan berada di tangan laki-laki secara normative berdasarkan beberapa ayat di dalam alqur’an yang sifatnya maskulin. Artinya ada sebuah pergeseran nilai atau distorsi yang dianggap sebagai nomalisasi agama pada penerapannya di dalam kebudayaan masyarakat, yang pada akhirnya tidak mendapatkan komplain dari kaum perempuan karena kurangnya edukasi terhadap deskriminasi yang dialaminya dan mengakibatkan perceraian sebagai sebuah solusi padahal di dalam alqur’an juga dijelaskan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Q.s Al-hujurat ayat 13. Dari hal ini,  kota dapat menerawang betapa besar pengaruh tafsir misoginis pada kehidupan masyarakat terutama masyarakat Indonesia yang menguntungkan satu pihak dan menyembunyikan adanya keadilan.

Sekian dan terimakasih
Salam kesetaraan

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama