Jalan Tuhan dan Celana Kolor ; Kelarga Persahabatan dan Kesetiaan
Cetakan Pertama, November 2019
Penulis :
Muhammad Nursaleh
Penyunting :
Asran Salam
Pemeriksa Aksara : Isnul Ar Ridha
Desain Sampul :
Sahrul Ramadhan
Tata Letak :
Andi Tenri Sanna
Diterbitkan Oleh Akalanka
Publisher
BTN
Merdeka Blok F No. 10 Kelurahan Salekoe
Kecamatan
Wara Timur Kota Palopo,
Sulawesi
Selatan, 91921 Indonesia.
Telp. 0853 9400 8849 Email : akalankabuku@gmail.com
Pemegang Hak Cipta ©2019 : Muhammad Nursaleh - ISBN: 978-623-92021-1-8
Buku
ini diterbitkan secara Self-Publishing. Isi buku di luar tanggungjawab Akalanka
Publisher, dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemegang hak cipta
==========================================
AKU SALAH !
D |
ulu aku begitu suka menulis di buku diary. Bermula dari sekolah dasar.
Isinya catatan-catatan pendek tentang marah, sedih,dan bahagia yang kurasakan
sebagai anak-anak. Ada juga kutipan-kutipan dari apa yang kubaca. Didominasi
penggalan-penggalan percakapan para tokoh majalah Bobo. Majalah idolaku. Aku
tak pernah melewatkan begitu saja dongeng Oki dan Nirmala. Atau kisah Upik dan
Coreng yang konyol. Jika ada puisi, sepotong isinya akan kuhafal untuk
dipindahkan ke buku diary.
Bobo, satu-satunya bahan bacaan anak-anak di eraku yang tidak gampang
diperoleh. Apalagi untuk ukuran kampung di Sukamaju, Luwu Utara. Kampung
transmigrasi. Masih baru untuk segala kemajuan. Untuk membaca Bobo, aku harus
ke tetangga. Mengetuk setiap hari pintu rumah seorang dokter kecamatan. Anaknya
adalah temanku bersekolah. Aku sering larut membaca dan lupa pulang ke rumah.
Seiring waktu, kebiasaan menulis di buku diary hilang ketika usia remaja
menghampiri. Aktivitas menulisku timbul tenggelam. Menulis, baru kulakukan
ketika satu dua teman meminta tolong untuk dibuatkan surat sebagai satu-satunya
alat komunikasi di jaman itu. Dari surat untuk keluarga hingga surat cinta.
Aku hanya sekadar menulis. Belum tahu aturan main. Rambu-rambu
kulabrak. Aku tak peduli pada keindahan titik koma dan harmoni yang membentuk
besar kecil huruf. Kebodohan itu baru kusadari ketika takdir membawaku bekerja
sebagai kuli tinta di awal berumah tangga. Di hari pertama bekerja, tak satu
pun berita yang kusetor meskipun liputanku banyak. Aku bingung. Apa yang harus
ditulis. Dari mana harus memulainya.
Sepekan redaktur selalu marah. Aku belum menyetor satu pun berita.
Hingga akhirnya aku disuruh duduk di sampingnya. Disuruh membaca apa yang jadi
catatan ketika liputan. Jarinya lincah mengetik dan hanya sekejap sebuah berita
telah jadi. Aku ikut senang, terlebih ketika keesokan harinya melihat berita
itu naik cetak.
Di sinilah awal mula aku belajar. Mengakrabi kamus, memperhatikan
redaktur yang mengedit berita lalu menyandingkan perubahan antara tulisan yang
kubuat dengan hasil akhir yang telah diedit. Perubahannya kucermati.
Pelan-pelan kumulai bisa menulis berita. Tentu saja berangkat dari straight news. Gaya menulis standar.
Aku pun akhirnya bosan menulis dengan gaya begitu. Di koran, aku cenderung suka gaya menulis
feature. Gaya bertutur. Berkisah. Itulah mengapa aku "maniak" pada
koran Tempo dan Kompas. Aku banyak belajar dari kedua media sepuh di Indonesia
itu ditambah beberapa buku teknik menulis feature yang kumiliki. Ketika menulis
feature, seperti menemukan tanah lapang yang di atasnya bebas berteriak
sekeras-kerasnya.
Aku kagum dengan gaya menulis beberapa penulis hebat. Aku ingin seperti
mereka. Seperti Asdar Muis RMS dengan esainya yang melimpah, Nur Alim Djalil
dengan "Percik"-nya yang sederhana namun bermakna, WS Rendra yang
hidupnya bertumbuh bersama puisi jiwa hingga Goenawan Mohammad dengan
"catatan pinggir"-nya yang spektrum referensinya begitu luas. Setiap
kali membaca tulisan-tulisan mereka, seperti minum air tetapi tidak
menghilangkan haus. Aku pun tertarik untuk mengikuti gaya menulis mereka.
Ternyata aku salah! Salah besar! Aku tak mampu. Semakin meniru
mereka, aku makin buntu. Ternyata setiap
orang punya ciri khas dengan gaya menulisnya masing-masing. Dan itu kupahami
setelah berproses hingga kini. Akhirnya
terpatri dalam jiwa, aku ingin jadi penulis dengan gayaku sendiri.
Buku ini berisi catatan-catatan harian yang kutulis dengan beragam
sudut. Ada keluarga, sahabat, politik hingga dunia birokrasi di mana aku
mengabdi sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN). Semua tulisan ini,
kutabung di satu wadah media sosial, facebook. Sesekali muncul di lembaran
koran atau di page views media online ketika ada rekan wartawan tertarik untuk
memajangnya.
Paling utama, kuucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada istriku
yang selama ini selalu menjadi yang pertama membaca setiap tulisan yang kubuat
sebelum membaginya ke publik. Istri yang selalu bermimpi suaminya bakal punya
buku sendiri. Juga kepada dua pasang anakku. Ainun, Firah, Himalaya dan
Mahameru. Mereka guru kehidupan, yang darinya kubanyak belajar, mendapatkan
inspirasi untuk kutuang di bait-bait narasi. Sembah sujud buat orangtua dan mertuaku yang terus
memberikan dukungan.
Terima kasih juga kuhaturkan kepada mantan Bupati Luwu, Andi Mudzakkar.
Darinya aku banyak belajar butir-butir kehidupan yang cenderung tersirat. Juga
kepada Ikhwan Rhey, Najamuddin Jasli, Wirawan Azis Maga, Chaerul Baderu,
Rosmiati Mattayang, Jumaidil Halide dan Arief Abadi Ayi. Mereka inilah yang
banyak mewarnai perjalananku saat masih menyandang status sebagai wartawan.
Kepada Nur Alim Djalil, Astamanga Azis, terima kasih tak terhingga atas
uluran tangannya bersedia memberi testimoni dan membantu penerbitan buku ini.
Terima kasih pula pada Abdul Rasyid Idris atas prolognya, meskipun kita
tidak pernah bersua, namun goresan tangan anda, mampu memberiku energi untuk
terus menulis.
Terkhusus buat Asdar Muis RMS (alm). Andai ia masih hidup, aku yakin ia
tersenyum bahagia melihat "murid"-nya telah diizinkan Tuhan untuk
berkarya.
Terima kasih Tuhan engkau telah berkenan menitip secuil anugerah-Mu
pada kepala dan sepasang tanganku yang dengan izin-Mu pula karya ini telah ada.
Belopa, September 2019
Muhammad Nursaleh
Posting Komentar