Cadar dan Celana Cingkrang Dilarang; Fatwa Politik atau Fatwa Fiqih?
Oleh ; Ustad Alfit lyceum
Sejak kemenangan Revolusi Islam Iran, fatwa wajib jilbab pun dikeluarkan. Fatwa ini bersifat universal bagi/dan 'memaksa' setiap wanita Persia, tak peduli apa agamanya. Sejak saat itu, hingga saat ini, tak terlihat lagi perempuan Iran yang berseliweran di jalanan tanpa jilbab, apatah lagi memamerkan betis dan pahanya. Pikniklah ke sana, yakin tak akan anda temukan. Kalaupun ada satu atau beberapa orang, pastilah itu agen-agen yang dibayar oleh musuh-musuh revolusi.
Apakah ulama tanah Persia tidak paham bahwa agama lain tidak mewajibkan jilbab? Tentu mereka sangat paham. Bagi mereka, fatwa wajibnya jilbab bukan lagi sebagai fatwa fiqih, tapi fatwa politik. Jilbab tidak lagi dilihat sebagai hukum agama, tapi sebagai hukum negara yang wajib ditaati oleh setiap perempuan Iran, atau perempuan luar Iran yang ingin menginjakkan kaki di tanah Persia.
Yah, hukum wajibnya jilbab dikeluarkan sebagai langkah politis dan taktis dalam menangkal serangan budaya yang dilancarkan oleh musuh-musuh Iran pasca revolusi. Musuh-musuh Iran bertekad memandulkan revolusi dengan cara merusak pemuda-pemudi Persia.
Suasana ketelanjangan dikondisikan, agar para pemuda tidak lagi sempat berpikir tentang masa depan negara. Sebab kepala mereka disibukkan dengan masalah-masalah receh seputar payudara. Para ulama Persia membaca strategi musuh. Maka difatwakanlah wajibnya jilbab sebagai hukum negara.
Disini, jangan lagi bertanya, kenapa pakaian perempuan yang mesti dibenerin? Otak lelaki dong yang harus diluruskan. Tentu, keduanya mesti bersinerjis. Nuansa syahwati negara dibersihkan terlebih dahulu, kemudian dihiasi dengan nuansa keilmuan dan spiritualitas. Dan itu yang kita saksikan di Persia saat ini.
Kita tinggalkan Persia, kembali ke Nusantara. Di sini, orang ramai membincang fatwa Menag yang melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang di lingkungan instansi pemerintahan. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Itu biasa saja dalam iklim demokrasi.
Lucunya, entah dengan tendensi apa, sebagian pura-pura bodoh dengan meyuniversalkan pelarangan tersebut. Mereka menebar opini, Menag melarang cadar dan celana cingkrang. Padahal yang dilarang adalah penggunaan cadar dan celana cingkrang di lingkungan pemerintahan. Artinya, di luar instansi pemerintahan, anda bebas bercadar dan bercingkrang ria.
Walhasil, menurut saya, fatwa tersebut dapat DIBENARKAN jika;
1. Pelarangan cadar dan celana cingkrang merupakan fatwa (kebijakan) politik, bukan fatwa fiqih. Persis fatwa politik ulama Persia yang mewajibkan jilbab kepada setiap perempuan di tanah Persia, tanpa peduli apa agama mereka.
Dalam hal ini, pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintahan merupakan langkah strategis Menag dalam memerangi -meminjam istilah Jokowi- para manipulator agama (untuk tidak menyebutnya radikalis Islam) yang memang perlahan menjamur, bukan hanya di dunia pendidikan, tapi juga di instansi pemerintahan hingga TNI.
Dan tentu, Menag mesti menjelaskan keterhubungan antara radikalisme dengan cadar dan celana cingkrang. Bukan justru terus-menerus menjelaskan ketiadaan hubungan antara iman, cadar dan celana cingkrang.
2. Pelarangan cadar dan celana cingkrang didasarkan pada regulasi seragam yang berlaku dalam instansi pemerintahan. Alasan ini logis, sebab setiap tempat ada sistem yang harus dipatuhi. Menolak atau tak patuh pada sistem, yah keluar. Tidak mungkin juga jika anak SD berseragam SMA ke sekolah dengan alasan pakaian itu wilayah privasi. Itu melanggar sistem.
Oleh karena itu, kebijakan Menag yang melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintahan TIDAK BISA dibenarkan jika pelarangan tersebut merupakan fatwa fiqih (hukum agama, bukan hukum negara). Alasannya;
1. Pak FR selaku Menag, BUKAN dari kalangan kiai, beliau dari kalangan TNI. Artinya, kompetensi beliau sebagai pemberi fatwa fiqih dipertanyakan. Dengan ini, pak FR tidak memiliki kelayakan untuk mengatakan, Cadar itu budaya Arab, bukan tanda kualitas iman. Sebab bagi mereka yang meyakini bahwa cadar bukan budaya tapi ajaran agama, maka bercadar adalah salah satu tanda kualitas iman.
Mungkin ada yang berdalih, benar bahwa pak FR bukan kiai, tapi fatwa dan kebijakan beliau mengikuti pandangan para kiai. Jika benar demikian, maka itu bertentangan dengan posisi beliau sebagai menteri seluruh agama dan mazhab.
2. Seperti yang diakuinya, Pak FR bukan menteri agama Islam atau mazhab tertentu. Ia adalah menteri agama Indonesia yang di dalamnya terdapat beragam agama, dan di dalam setiap agama terdapat ragam mazhab.
Dengan ini, pelarangan cadar dan celana cingkrang sebagai fatwa fiqih (hukum agama) adalah sejenis pemihakan terhadap mazhab tertentu (mazhab yang tidak mewajibkan cadar dan celana cingkrang, dan melihat keduanya sebagai budaya Arab semata). Sekaligus juga sebagai bentuk pengebirian dan tindakan diskriminatif terhadap mazhab tertentu (mazhab yang mewajibkan cadar dan celana cingkrang karena memandang keduanya sebagai perintah agama).
Dan tentu saja, hal itu bertentangan dengan netralitas Menteri Agama yang semestinya merangkul semua agama dan mazhab yang ada di Indonesia.
Wallahu a'lam
~Alfit Lyceum
#salamharmonisasi
#filsafatharmonisasi
Posting Komentar