RESEPSI : PROFETISME TEOLOGIS KEHN ISKAN DALAM NOVEL PERAWAN

(Oleh: Yeni Sulistiyani)

Spirit teologi adalah profetisme. Profetisme secara literal berasal dari bahasa Inggris, yaitu prophet atau prophetic, yang bermakna nabi atau kenabian. Heddy Sri-Ahimsa Putra dalam kertas kerjanya yang berjudul “Paradigma Profetik: Mungkinkah? Perlukah?” memberikan makna bahwa, “…profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memprakirakan.” Sebagaimana nabi, profetisme berarti mengemban misi ilahiah yang termanifestasikan dalam
seluruh aktivitas kemanusiaan yang luhur termasuk dalam karya sastra. 

Kuntowijoyo, secara teoritis memberikan gambaran bahwa profetisme telah diteorisasikan setelah melalui pelbagai uji akademik ilmiah, profetisme berubah menjadi Ilmu Sosial Profetik. Ilmu Sosial Profetik ini tidak terlalu berbeda dengan ilmu sosial transformatif, yang mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial. Tujuannya sebagai ikhtiar rekayasa untuk
perubahan sosial. Karena itu, ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif teologi, tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal.

Ilmu sosial yang selama ini berkembang dikritik karena bersifat positivistic. Dalam paradigma positivistik Barat, terjadi banyak reduksi. Ilmu menjadi suatu teknis-mekanis dalam memahami realitas kehidupan manusia yang sangat kompleks. Padahal, masyarakat senantiasa berubah dan tidak digeneralisasi, dan suatu paradigma ilmu tidak boleh jumawa. Adapun, standar umum ilmu positivistik bertumpu pada tawaran konsep dan standar yang ditawarkan Barat atau Eropa sentris. Hal ini bisa melupakan khazanah lokal, tradisi, adat istiadat, dan seterusnya. Dalam konsep ilmu sosial profetik ilmu pengetahuan yang benar bersumber pada perpaduan antara wahyu, rasio, dan fakta empiris.

Ilmu Sosial Profetik ini, menghendaki transformasi sosial yang berdasarkan pada cita-cita humanisasi, liberasi, dan transendensi yang diderivasi dari misi historis kitab suci. Dalam hal ini, Kuntowijoyo merujuk pada al-Quran, surat Ali Imran ayat 110, yang artinya, “Engkau adalah umat terbaik, yang diturunkan di tengah umat manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.”

Menurut Kuntowijoyo, ada empat hal yang tersirat dalam ayat tersebut, yaitu tentang konsep umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran dan etika profetik. Pertama, umat manusia akan menjadi umat terbaik, tatkala mampu melaksanakan “pengabdian kemanusiaan” bagi umat manusia (civil society); Kedua, mengemban misi kemanusiaan, berarti berbuat untuk manusia dalam bentuk aktivisme sosial dan membentuk sejarah; Ketiga, kesadaran dimaksud adalah kesadaran ilahiah. Dengan kata lain, suatu bentuk “keterpanggilan etis” untuk kemanusiaan yang dilandasi oleh spirit teologis; Keempat, etika profetik ini berlaku umum, yaitu menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah (transendensi).

Khusus menyangkut penjelasan yang terakhir disebutkan, etika profetik memiliki tiga prinsip utama, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Pertama, humanisasi bermakna memanusiakan manusia. Di hadapan situasi kontemporer, di mana kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi situasi industrial, dengan demikian merubah pula pola-pola kebudayaan yang ada. Kemanusiaan, kadangkala tergantikan atau bahkan tidak lebih penting dari kepentingan industrialisasi.

Orientasi profit yang dijalankan melalui cara produksi (mode of production), membentuk pola pikir manusia yang konsumtif, bahkan membentuk masyarakat konsumsi (the consumption society). Dengan demikian, barang, mesin, uang dan kepentingan pasar merupakan prioritas daripada kemanusiaan, yang hanya melayani dan dapat dirasakan manfaatnya oleh sebagian orang saja, khususnya pemilik kapital. Berseberangan dengan hal ini, maka mereka yang jauh dari kepemilikan
modal, menjadi miskin, termarjinalkan dan tersisih dari komunitas industrial (teralienasi). Humanisasi, seperti yang dimaksud dalam Ilmu Sosial Profetik, merupakan paradigma, di mana kesadaran kemanusiaan untuk memanusiakan manusia, diupayakan untuk menjawab pelbagai problem masyarakat industrial tersebut.

Kedua, liberasi adalah upaya untuk menetralisir segala bentuk tindak laku yang dehumanistik atau
anti-kemanusiaan. Upaya ini menjadi sangat penting, karena dalam setiap struktur sosial, khususnya dalam konteks masyarakat industrial-kapitalistik, tidak hanya ada para pemilik modal dan pekerja, namun juga berlangsung sistem dominatif, hegemonik dan eksploitatif. Dengan kata lain, ada kelas yang menindas, ada pula yang tertindas. Liberasi sebagai prinsip etika profetik, berguna untuk membuat netral kondisi “penjajahan” tersebut. Liberasi, bermakna pembebasan atau pemerdekaan bagi kemanusiaan di hadapan sistem sosial yang tiranik.

Ketiga, transendensi adalah mengembalikan segala urusan kehidupan kepada Tuhan. Prinsip ini sebenarnya merupakan upaya untuk mengoptimalkan spiritualitas manusia, sebagai hamba. Terlebih bahwa, transendensi diharapkan menjadi nilai kesadaran umat, yang bersifat komunal atau memasyarakat. Humanisasi dan liberasi, keduanya semata-mata diupayakan karena prinsip transendensi ini. Tuhan merupakan sumber kekuatan, Tuhan merupakan sumber keabadian dan Dzat yang Maha Obyektif. Segala upaya humanisasi dan liberasi, bukanlah pemikiran dan sikap manusia yang reaktif. Upaya pembelaan terhadap kemanusiaan, misalnya dihadapan dehumanisasi yang menindas, bukan bahwa kelas penindas digantikan posisinya oleh kelas tertindas sebagai penindas baru, namun lebih kepada upaya menetralisir dan menuju pada kondisi yang objektif.
Dari uraian singkat tentang profetisme tersebut, paling tidak ada empat nilai dan tiga prinsip yang secara paradigmatik digunakan sebagai framework pada paper kali ini. Empat nilai tersebut adalah: (1) civil society, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etika profetik. Sedangkan prinsip-prinsip yang menopang ISP adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi. Perangkat teoritik inilah yang digunakan untuk membaca fenomena kehidupan masa kini juga kehidupan dalam novel Perawan.

Profetisme Novel Perawan
Titik temu antara Perawan dengan profetisme adalah dengan adanya koherensinya antara fenomena dalam naskah cerita dengan nilai-nilai civil society, aktivisme sejarah, kesadaran, dan etika profetik. Kehn Iskan menaburkan artikulasi profetisme ke dalam alur cerita, tokoh-tokoh dan perwatakannya. Alur cerita yang dilengkapi dengan setting dan gaya penceritaan secara kekinian dan mudah dipahami alurnya. Alur yang ditata secara apik dengan kombinasi lintas waktu. Cerita bergerak pada masa kini juga masa lampau yang dikemas dengan cara penceritaan yang tidak terputus-putus dan terkesan natural. Ide ceritanya tampak begitu terbuka berdasarkan daya khayal yang dimungkinkan didasari juga oleh hasil-hasil pengamatan langsung terhadap peristiwa-peristiwa kecil di dalam masyarakat yang menarik dan menggelitik sehingga mencemaskan pikirannya. Hal itu kemudian menjadi alasan Kehn untuk mengembangkannya ke dalam cerita yang mengandung nilai-nilai edukatif. Penggunaan berbagai latar dalam lintas ruang dan waktu yang dialami tokoh-tokohnya menghanyutkan pembaca pada khayal, imajinasi masing-masing sehingga memungkinkan pembaca terbawa larut dalam kenyataan-kenyataan yang mungkin pernah mereka lihat di lingkungan sekitar. 

Saya dapat katakana ini sebagai upaya akademik. Sebab, dari keseluruhan ceritanya dapat dirasakan dan ditemukan adanya statement-statement penting cerita dan percakapan/dialog antartokoh kemudian melahirkan gambaran cerita yang memberikan stimulus inspirasi, prinsip dan spirit profetisme. Gerak profetisme dalam novel ini, saya rasa mampu memicu terjadinya perubahan sosial yang besar jika dapat dibaca dan atau adanya keterbacaan masyarakat pembaca terhadap novel ini. Kebesaran perubahan ini, tentu saja bukan karena suatu ideologi agama yang konservatif. Namun, profetisme itulah yang membentuk jati dirinya. Akan lebih hebat lagi jika banyak pelajar, guru, pemuka masyarakat dan masyarakat luas berkemauan membaca novel ini.

Thesis statement profetisme Kehn Iskan, dapat diidentifikasi dan dibuktikan dari pola gerakan sosial keagamaan yang diterapkan Iskan dalam novel ini melalui penggambaran perilaku tokoh dan dialog-dialognya. Profetisme yang muncul dari adanya kesinambungan antara ortodoksi dengan ortopraksi oleh Iskan. Dengan profetisme, alur cerita dalam novel, tampak tidak bermaksud mengukuhkan diri menjadi mazhab yang tekstualis, atau semata-mata ortodoks terhadap teks keagamaan namun, menjadikan karya sastra sebagai alat pemantik inspirasi kehidupan beragama dengan pilihan-pilihan sikapnya. Justru pilihan untuk menjadi kelompok yang sarat dengan teks kitab suci, merupakan hasil penghayatan yang sungguh terhadap konteks sosial yang ada. Saya menangkap bahwa kredo dari novel ini ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah, yang bermakna pembebasan (ortopraksi).

Hal ini tentu saja, berbeda dengan stigma bahwa “kembali ke nilai-nilai islami” bermaksud
untuk membatasi ruang gerak kehendak bebas manusia (free will). Pandangan ini juga menepis pendapat yang menetapkan sastra islami membatasi gerak ekspresi namun menjadikan novel ini memiliki ruh yang kuat dengan bersandar pada nilai-nilai Qurani. Sandaran yang kuat ini dikemas dalam cerita yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa kemanusiaan dan yang lumrah biasa terjadi di lingkungan masyarakat nyata kemudian nilai-nilai edukasi islami dan upaya-upaya moderasi beragama menjadikan novel ini gurih dan renyah. Mengedukasi namun tidak menggurui, mengedukasi namun menghibur.

Profetisme dalam isi cerita dengan gaya penceritaan yang membebaskan ini, benar-benar memberikan nilai tambah, sekaligus membedakannya dengan novel-novel islami lain. Misalnya saja karya-karya Asma nadia, Habiburrahman El Shirazy, Helvy Tiana Rosa dan berbagai macam banyaknya penulis-penulis sastra populer Islami lainnya. Iskan meramu cerita sebagai manifestasi gerakan kaum beragama, yang tidak mencerminkan gaya pesantren meskipun menggunakan setting tempat pesantren sebab tidak ditonjolkan ruang lingkupnya, namun lebih pada nilai-nilai islami dalam masyarakat umum dalam perspektif yang segar namun tidak tumbang tergilas zaman dengan pelbagai sebab.

Sepertinya, novel ini akan bernasib baik bila bertemu dengan induk yang baik. Sebab, hingga suatu saat nanti, novel ini masih dapat menunjukkan eksistensi dan relevansinya sebagai novel dalam sikap profetis keagamaan yang bekerja keras untuk mapan. Inilah bukti yang sulit dibantah dari thesis statement profetisme novel Perawan. Daripada memperjuangkan Islam melalui jalur politik sepertinya, Iskan lebih menaruh perhatian pada strategi kebudayaan dan pendidikan ke dalam bentuk karya sastra.

Novel Perawan dalam Liberasi Praksis Sosial Kemanusiaan
Novel ini dapat dikatakan sebagai purifikasi atau pemurnian ajaran keagamaan. Kehn telah memberikan teladan untuk bersikap wajar terhadap agama, simbol agama, tradisi, bahkan kepercayaan setempat yang berbau mistis. Melalui pemahamannya terhadap hakikat manusia, dan nilai-nilai ketuhanan Khen berhati-hati memberikan kesan sikap penulis terhadap sebuah fenomena dan peristiwa dalam ceritanya. Semua peristiwa yang tergambarkan turut mewarnai peristiwa zaman secara nyata disikapi pengarang secara netral dan hati-hati. Pemurnian menjadi jalan usaha Khen namun masih juga diberikan gambaran-gambaran kemungkinan sebagai pembanding sebagai sikap kehati-hatian. Kemudian, pembaca lah yang menentukan kebenaran sesuai dengan tingkat pemahamannya terhadap ajaran ketauhidan. 

Gambaran nyata tentang liberasi praksis sosial kemanusiaan tampak digambarkan melalui sikap tokoh Halimah dalam menghadapi keterbatasan ketidakpunyaan, usia. Humanisasi yang tampak dari sikap tokoh dapat dimaknai sebagai upaya memanusiakan manusia. Posisi manusia di sini sebagai  makhluk ciptaan Tuhan. Nilai-nilai humanisme teosentris, yang bertolak belakang dengan humanisme era modern, terlebih-lebih pandangan kaum materialis yang memandang Tuhan sebagai hasil proyeksi manusia belaka. Jadi, alih-alih manusia sebagai proyek teosentris, justru Tuhan menjadi proyek antroposentris. Humanisme dalam ilmu sosial profetik juga tidak sejalan dengan rasionalisme yang berkembang di Barat, yang menjadikan manusia sebagai penentu segalanya. Dengan “kecerdasan”-nya manusia menjadi pencipta mesin-mesin perang dan mengeksploitasi alam, sehingga humanisme yang ditawarkan era modern malahan mendegradasi kemanusiaan itu sendiri.
Liberasi sebagai upaya membebaskan manusia dari sistem pengetahuan, sosial, ekonomi, dan politik yang membelenggu manusia pun tergambar dalam novel ini. Tokoh Halimah yang lembut namun teguh pendirian dalam memegang nilai-nilai kemanusaian, persahabatan, kemanusiaan, persaudaraan, dan memaknai cinta hakiki. Jika tidak disebabkan oleh kesadaran sepenuhnya pengarang maka, statemen-statemen kesadaran yang membebaskan ini tidak akan pernah mungkin tertuliskan. Saat ini, banyak kita melihat manusia banyak yang masih hidup dalam hegemoni kesadaran palsu. Sebagaimana dicontohkan dalam novel ini, manusia hidup berdasarkan mitos, bukan logos. Beragama juga dengan cara-cara bermitos, meyakini ajaran agama itu tetapi tidak mengamalkannya. Liberasi juga ingin membebaskan manusia dari dominasi struktural, yang membuat manusia terjerat dalam pemerasan dan kemiskinan namun keluar dari kondisi itu dengan ilmu. 

Transendensi menjadi upaya mengarahkan tujuan hidup manusia agar bisa hidup secara bermakna. Nilai-nilai transendental ini adalah nilai-nilai ketuhanan sebagaimana diajarkan di dalam Islam. Nilai-nilai ketuhanan ini yang mengarahkan manusia untuk menemukan nilai-nilai luhur kemanusiaan; atau dengan perkataan lain mengajak manusia menjalankan nilai-nilai kemanusiaan itu menuju ke nilai-nilai ketuhanan. Demikianlah ikhtiar Khen Iskan dalam novel Perawan. Ikhtiar dalam menggali nilai-nilai kemanusiaan dari nilai-nilai ketuhanan yang diyakini, dileburkan ke dalam pemaknaan dan cara menghadapi cinta antarlawan jenis, cinta yang dikhususkan hanya kepada pasangan halal, bagaimana imanensi membawa perilaku yang begitu menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Semoga novel ini menginspirasi pembaca. Semoga dengan membaca novel ini, jati diri sebagai manusia, sebagai muslim dapat ditemukan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama